SAUDARA (KAKAK-ADIK) SEBAGAI AGEN KASIH ALLAH

Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur- pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. (Lukas 15:28-30)

Bacaan Alkitab
2 Tawarik 32-33

Saya tahu kisah dalam Lukas 15 ini merupakan perumpamaan yang diberikan Yesus untuk mengajarkan (utamanya) hal yang lain, yaitu tentang hati Allah bagi orang berdosa. Namun menarik untuk melihat respon dari anak sulung yang digambarkan Yesus. Bukannya bersukacita atas kepulangan adiknya, dia justru marah dan iri dengan apa yang Bapanya berikan kepada adik itu. Bukankah konflik antar saudara seperti ini kita temukan berulang kali dalam Alkitab? Ingat kisah pembunuhan pertama yang melibatkan Kain dan Habel, ingat kisah penuh persaingan antara Esau dan Yakub, ingat bagaimana kebencian dan iri hati yang ada dalam diri saudara-saudara Yusuf mengantarkannya pada kisah penuh pergumulan selama belasan tahun di Mesir, bahkan sekelas pemimpin besar seperti Harun dan Miryam pun pernah jatuh dalam gejolak antar saudara ini ketika melihat kepemimpinan Musa. Di luar Alkitab, kita mungkin bisa menambahkan kisah-kisah konflik antar saudara yang kita lihat di sekitar kita—atau bahkan mungkin dalam keluarga besar kita sendiri.

Konflik antar saudara di satu sisi bisa jadi karena parenting yang buruk— seperti kisah Yakub dan Esau—namun di sisi lain, sebagaimana semua persoalan lain, hal itu lebih diakibatkan karena hati yang berdosa. Secara alamiah, kita merindukan kasih, penerimaan dan pengakuan, namun dosa membuat kita mencari hal tersebut di tempat yang salah. Kita berusaha mencari kasih, penerimaan, pengakuan dari orang tua kita—dan kita iri ketika orang tua kita lebih care terhadap saudara kita, kita benci ketika saudara kita lebih pandai, lebih cantik, lebih kaya, lebih sukses, karena mereka kita berpikir mereka akan merenggut kasih dan perhatian banyak orang dari kita. Sepanjang waktu kita berusaha mendapatkan kembali kasih dan pengakuan itu dengan berbagai macam cara—dan itu begitu melelahkan. Bukankah itu yang terjadi pada si sulung? Dia lelah, dia haus, dia pahit. Padahal tanpa dia sadari, pelukan itu selalu tersedia—bahkan lebih dari apa yang dia pikirkan, ‘segala milikku adalah milikmu’ (ay 31). Temukan kasih, penerimaan dan pengakuan itu dari Sang Bapa yang Kekal sehingga kita terpuaskan di dalam Dia, dan mampu melihat saudara kita sebagai pribadi yang memerlukan saluran kasih kita, bukan sebagai saingan kita. (dan)