AKU, KAU & DIA

¹⁴Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? ¹⁵Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang- orang tak percaya? ¹⁶Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: “Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah- tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku. ¹⁷Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu. ¹⁸Dan Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak- Ku perempuan demikianlah firman Tuhan, Yang Mahakuasa.”
(2 Korintus 6)

Bacaan Alkitab
Yesaya 44-48

Sebagai peta dan gambar Allah, manusia adalah mahluk sosial yang sejak lahir membina komunikasi dengan sesamanya untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya. Melalui komunikasi, manusia mengembangkan kepribadian, mengenal arti dari mempercayai, mengembangkan tanggung jawab, dan menikmati kedekatan dengan sesamanya. Paulus menasehati anak² Tuhan agar jangan berpasangan dengan yang tidak seiman (2 Korintus 6:14-18). Prinsip ini lahir dari kesadaran akan pentingnya pernikahan di hadapan Tuhan dan realitas komunikasi TRIPARTIT sebagai syarat utamanya, sehingga pasangan dapat merasakan
keterlibatan Allah di dalam dan melalui pergaulan mereka. Keterlibatan Allah tersebut harus diminta oleh setiap pribadi sejak mula pertama ia merasa tertarik dengan individu tertentu. Sejak itu, setiap pikiran, perkembangan perasaan, dan tindakan seharusnya digumulkan bersama Allah, sehingga anak² Tuhan tidak seharusnya melangkah mendahului Allah. Pertumbuhan dari tertarik menjadi terikat yang dialami oleh dua pribadi Kristen terjadi oleh karena keterlibatan pimpinan Allah sendiri, dan bukan kemauan pribadi dengan pertimbangan yang tidak dewasa. Berarti, tidak digerakkan se-mata² oleh dorongan instink saja. Sekali lagi, tujuan pernikahan Kristen bukan untuk kebahagiaan subjektif dari masing² pribadi saja, tetapi menjadi sarana kehadiran Allah di dalam dunia ini. Apakah anda memahami prinsip kebenaran ini (Matius 18:20) – “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”
Realita kebenaran ini hampir selalu diabaikan oleh anak² Tuhan. Ini nampak jelas dalam pemilihan pasangan, pengambilan keputusan seringkali dilakukan tanpa memohon pimpinan Tuhan dan mempertimbangkan prinsip² Alkitab yang sudah dikenalnya. Akibatnya, banyak individu yang salah pilih, sehingga ber-puluh² tahun kehidupan pernikahannya kelak hanya dihabiskan untuk membangun komunikasi dan menyesuaikan diri saja. Mereka terpaksa harus menghadapi
berbagai masalah kehidupan pernikahan yang sebenarnya tidak perlu. Misi dari Allah melalui pernikahan tak pernah dapat dikerjakan.


● Bagaimana dengan anda sendiri? Apakah pasangan yang anda pilih sekarang adalah pasangan yang anda yakini sebagai pasangan yang Allah sediakan bagi anda?
● Di mana keterlibatan Allah dalam kehidupan anda & pasangan, dan keluarga anda?
● Coba berjujur kepada diri sendiri. Apakah selama ini keterlibatan Allah ada dalam pergaulan dan keluarga/ rumah tangga anda? Berilah contoh.
● Atau kalau anda menjawab belum pernah ada, lalu apa rencana anda dan pasangan anda untuk dapat dengan rendah hati mulai membuka diri untuk keterlibatan Allah?
● Pastinya kita memiliki rencana ke depan untuk keluarga & rumah tangga kita. Acapkali muncul pertimbangan² yang kita anggap cukup/sangat prinsipiil seperti kondisi kesehatan, pendidikan, finansial dan lain sebagainya, namun apakah kita mempertimbangkan keterlibatan Tuhan di dalamnya? Mengapa?


Kehendak Allah selalu melibatkan tanggung jawab manusia yang seutuhnya sehingga pertimbangan dengan bijaksana umum secara implisit menjadi bagian integral dari kehendak Allah. Meskipun demikian, dimensi ini bukan satu²-nya dimensi dari kehendak Allah. Kesiapan dan kematangan rohani juga merupakan salah satu dimensi di samping adanya dimensi sosial, psikologis, moral, mental, dan sebagainya. (jp)