KOMUNIKASIMU & TUHAN

Mazmur 39: ¹²Dengarkanlah doaku, ya TUHAN, dan berilah telinga kepada teriakku minta tolong, janganlah berdiam diri melihat air mataku! Sebab aku menumpang pada-Mu, aku pendatang seperti semua nenek moyangku.
Mazmur 9: ¹⁰Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepada-Mu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN.
¹⁰⁵Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku. ¹⁰⁶Aku telah bersumpah dan aku akan menepatinya, untuk berpegang pada hukum-hukum-Mu yang adil. ¹⁰⁷Aku sangat tertindas, ya TUHAN, hidupkanlah aku sesuai dengan firman-Mu. (Mazmur 119)

Bacaan Alkitab
2 Raja-raja 19
Mazmur 46, 80, 13

Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa kualitas komunikasi dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh komunikasi seperti apa yang kita bangun dengan Tuhan. Semakin kita tidak berkomunikasi dengan-Nya maka semakin jauhlah kondisi keluarga kita dari tujuan, panggilan & rancangan-Nya tentang keluarga. Karena Dia-lah Sang Designer Keluarga & Rumah Tangga.
Bisa jadi kita merasa telah memiliki komunikasi yang baik dengan-Nya. Secara sederhana komunikasi itu diwujudkan dalam bentuk DOA, di mana kita mengomunikasikan apa yang menjadi pergumulan² kita dengan sebuah harapan Tuhan mengerti & memahami apa yang menjadi kebutuhan sampai keinginan kita. Itu dari pihak kita kepada Tuhan. Masalahnya, tatkala kita memahami komunikasi yang dialogis – apakah kita telah berupaya untuk mengerti & memahami isi hati Tuhan yang disampaikan kepada kita, melalui Firman-Nya. Ketika upaya itu tidak ada, maka sangat besar kemungkinan kita salah melakukan penilaian terhadap realitas komunikasi kita kepada Tuhan. Bahkan sangat mungkin kita membangun komunikasi yang bersifat eksploitatif & manipulatif.
Dalam keluarga, relasi & komunikasi yang kita bangun bisa hanya berkisar “lt and It”. Komunikasi dengan pasangan hanyalah interaksi antara aspek² tertentu dari dirinya dengan aspek² tertentu dari pasangannya. Inilah yang terjadi dalam hidup banyak keluarga yang masing² hidup dalam dunianya sendiri dan tidak menyadari maksud dan tujuan pernikahan. Mereka masing² hanya bereaksi secara instingtif atas stimulan² yang muncul timbul- tenggelam dalam kehidupannya. Jadi, apabila mereka berkomunikasi, yang terjadi sebenarnya hanyalah pertukaran pikiran tentang hal² “di luar diri mereka”. Mereka bisa bertukar-pikiran tentang pekerjaan, anak, politik, gereja, atau apa saja tanpa melibatkan pribadi yang sesungguhnya. Akibatnya, komunikasi yang ada tidak menstimulir pertumbuhan pribadi masing². Mungkin mereka merasa cukup berbahagia dalam pernikahannya, tetapi pernikahan mereka mandeg karena masing² pribadi tidak distimulir untuk tumbuh dalam kedewasaan pribadi. Hubungan mereka sebenarnya hubungan dalam pola komunikasi “It and It” utuh dengan sesamanya. Mereka saling menutupi dirinya dan saling menyalahkan. Komunikasi menjadi manipulatif dan se-mata² untuk memuaskan natur dosanya.
Mungkinkah komunikasi seperti ini yang mengisi & menjadi tujuan komunikasi kita kepada Tuhan? Kita berkomunikasi dengan-Nya hanya berganda it’s dan selalu tentang it’s – kita tidak bersedia untuk menyelami isi hati & pikiran Allah, tidak berkeinginan untuk bergaul lebih akrab dengan Allah untuk semakin mengenal-Nya. Bandingkan Filipi 3:10 tentang kerinduan Paulus untuk semakin mengenal Allah.
Bila model komunikasi seperti itu yang diterapkan kepada Allah, maka tidak heran bila kita menjumpai keluarga² Kristen yang seolah beriman, beribadah dan mengaku mengenal Tuhan namun terjadi kemandegan komunikasi dalam kehidupan rumah tangga & keluarganya.
Semakin dalam kita mengenal Allah maka semakin jauh kita akan memahami kehidupan keluarga kita, dan nikmati sukacitanya karena pengenalan kita kepada Dia. Tuhan memberkati. (jp)