ISTRI SEBAGAI AGEN KASIH ALLAH

Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu.
(Efesus 5:22-24)

Bacaan Alkitab
Yesaya 59-63

Kerendahan hati begitu indah, namun sekaligus begitu sulit. Karena kita sangat mengasihi diri sendiri, maka merendahkan hati merupakan pergumulan tersendiri. Kerendahan hati adalah hal yang sangat berbeda dari pola pikir dunia. Kita dicecar dengan berbagai cara untuk mendapatkan kekuasaan, kendali dan kemandirian. Kita dicecar dengan nasihat untuk mendengarkan suara hati dan melakukan apa yang ingin kita lakukan. Peneguhan terus menerus dari dunia dan dorongan hati kita sendiri membuat kita gampang percaya bahwa kita layak diperlakukan menurut cara tertentu. Kecintaan akan diri membuat kita defensif, marah, melemparkan kesalahan, mudah tersinggung dan berbagai hal lain yang memecah relasi. Coba ingat dan evaluasi konfik terakhir yang Anda alami dengan anggota keluarga Anda, apakah di sana ada kecintaan akan diri dan kurangnya kerendahan hati? Jika tebakan saya benar, hal itu bisa menyelinap, atau bahkan menjadi bahan bakar utamanya. Ketika kita merasa lebih hebat, lebih benar, lebih berjasa, lebih pandai, lebih kuat, lebih bijaksana, lebih memiliki posisi, maka tidak mudah bagi kita untuk tunduk dan merendahkan hati di hadapan orang lain.
Firman yang diberikan di ayat ini adalah untuk ‘tunduk’, dan esensi dari ketertundukan adalah kerendahan hati. Sayangnya, tidak sedikit pernikahan yang hancur karena tiadanya kerendahan hati. Sebagai orang percaya, bukankah itu cukup menyedihkan? Kita berjuang memegang kendali dan kesejajaran, sibuk berebut kekuasaan, dan bukannya merendahkan diri dan berkorban seperti Kristus. Kerendahan hati bukan berarti menyangkali kemampuan diri, melainkan memposisikan diri untuk tidak merasa superior sehingga mampu menghadapi kelemahan orang lain dengan penuh kesabaran, memberikan penguatan dan bukan penghakiman, mempercayai orang lain karena sadar akan batasan diri, dan bersedia untuk terus mau diajar dan belajar bahkan dari orang yang tampak ‘lemah’ sekalipun. Dan percayalah, kerendahan hati akan melepaskan diri dari beban berat yang kita pikul dan memberikan kelegaan serta sukacita, sebagiamana Gavin Ortlund menuliskan bahwa, ‘kita dapat mengidentifikasi sukacita sebagai ujian terhadap kerendahan hati, karena kerendahan hati yang sejati selalu menghasilkan sukacita. Jika kita kurang bersukacita, kita tahu bahwa kita mempunyai kerendahan hati yang palsu’. Jadi, apakah kehidupan keluarga kita penuh dengan ketegangan dan keluhan, ataukah penuh dengan sukacita? (dan)