APAKAH KEBODOHAN TERJADI LAGI?
Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, ⁴tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. 1 Korintus 1
Manusia cenderung mencari jaminan untuk memastikan bahwa apa yang mereka terima itu sebagai sebuah kebenaran. Bagi orang Yahudi mujizat-mujizat menjadi penting sebagai sebuah tanda yang menjamin benarnya pemberitaan, khususnya tentang keselamatan di dalam Kristus (berita Injil). Bandingkan dengan Yohanes 4:48 – Maka kata Yesus kepadanya: “Jika kamu tidak melihat tanda dan mujizat, kamu tidak percaya.” Demikian hal-nya bagi orang Yunani dengan jaminan hikmat-nya, apakah berita injil – keselamatan dalam Kristus – adalah ajaran yang dapat memuaskan akal budi mereka yang ingin mengerti. Bila hal itu dianggap tidak dapat menjawab/ memuaskan pikiran mereka maka dianggap sebagai sebuah kebodohan.
Cara pandang atau titik berangkat yang demikian – baik orang Yahudi maupun Yunani – sangat kontras dengan apa yang diungkapkan oleh Yesus kepada murid-Nya yang tercatat di Yohanes 20 – ⁹Kata Yesus kepadanya: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” Artinya, ada orang yang kemudian menjadi percaya kepada Kristus sekalipun tidak melihat-Nya, dan nampaknya kita sekalian orang percaya adalah orang yang tidak pernah melihat Yesus, tidak menyaksikan setiap mujizat-Nya secara kasat mata. Atau harus melewati perdebatan yang panjang dengan tetap mengandalkan hikmat dunia/ manusia untuk menjadi percaya kepada-Nya.
Masalahnya, tatkala kita telah meng-klaim menjadi bagian orang percaya, apakah kebodohan seperti yang menjadi patokan orang Yahudi & Yunani itu masih terjadi? Apakah kita masih memerlukan tanda/ mujizat agar kita menjadi percaya kepada-Nya dan meyakini bahwa Dia-lah Allah yang sungguh benar? Atau kita senantiasa membutuhkan tanda/ mujizat agar iman kita bertumbuh? Celakanya bila ada yang membutuhkan tanda mujizat bukan sebagai peneguhan, tetapi sebagai jaminan.
Atau di sisi lain, seperti hal-nya orang Yunani – yang selalu melihat relasi dengan Allah & anugerah-Nya harus dievaluasi dengan kemampuan akal budi manusia, yang membuat kita menyalah-nyalahkan dan mengatakan bodoh bagi mereka yang tidak sanggup memahami Allah (sekalipun mereka mempercayai-Nya). Benar, kita membutuhkan pengajaran yang benar. Benar, kita harus terus belajar untuk mengenal Allah. Benar, bahwa pengenalan akan Allah seharusnya berbanding lurus dengan pertumbuhan iman kita. Namun akan menjadi tidak benar – kesalahan besar – bila kita kemudian meng-klaim bahwa kita yang paling benar padahal banyak hal tentang Allah yang unlimited itu tidak sanggup kita ketahui & kita singkapkan. Bandingkan dengan Roma 11:33-35 – O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan- keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? -JP