KESIMPANGSIURAN MAKNA

²⁷Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” ²⁸Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” ²⁹Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?” ³⁶Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut
pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” ³⁷Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!” (Lukas 10)

Bacaan Alkitab
Hakim-Hakim 10

Minggu kemarin telah kita bahas & renungkan bersama tentang kesimpangsiuran makna kasih, yang salah satunya terkait dengan mentalitas yang dimiliki seseorang. Mentalitas seseorang yang selalu bersyukur dalam setiap keadaan dan belajar untuk mencukupkan diri dengan apa yang ada, dapat dipastikan memaknai kasih akan sangat berbeda dengan mereka yang selalu merasa berkekurangan dan menuntut orang lain memberi perhatian kepadanya.
Perenungan hari ini kita akan melihat bagaimana seorang sekaliber ahli Taurat bisa mengalami kesimpangsiuran untuk meng-implikasikan hukum kasih, dan pastinya akan berpengaruh pada penerapannya (aplikasi). Sekalipun Alkitab mencatat bahwa motif-nya untuk mencobai Yesus, dan ia berkelit untuk membenarkan dirinya dengan sebuah pertanyaan: “Siapakah sesamaku manusia?”
Dalam kapasitasnya sebagai seorang Ahli Taurat seharusnya tidak perlu diragukan pengertiannya tentang apa yang tertulis di dalam taurat selaras dengan pertanyaannya. Dan tatkala ia mencoba merespon, menjawab & menjabarkan tentang hukum Kasih, maka jawaban Yesus membenarkan jawabannya. Sehingga tidak berlebihan bila kita simpulkan bahwa secara dogma sepertinya OK. Tetapi tatkala Yesus melanjutkan dengan perkataan “Perbuatlah Demikian” maka ia segera berespon “Siapakah Sesamaku”.
Kata membenarkan dirinya sangat mungkin melahirkan indikasi bahwa ia sudah melakukannya atau berbuat demikian, hanya saja sesama manusia diterapkan dalam lingkaran/ lingkup tertentu. Mungkin lingkup petinggi/ pejabat rohani, mungkin lingkup Yahudi atau lingkup lainnya yang ada dalam batasan dirinya. Tapi di sisi lain, tidak menutup kemungkinan bahwa ia mengalami ketersesatan dalam memaknai arti sesama manusia, atau mengalami kegagalan untuk meng-implementasikan sesama manusia dalam hidup se- hari². Itulah sebabnya memberikan terapi untuk membongkar POV-nya (Point of View) tentang sesama dengan menampilkan karakter si Samaria yang Baik Hati, satu dari kelompok manusia yang tidak pernah dianggap sesama oleh orang² Yahudi.
Lukas menutup perikop ini dengan perkataan Yesus: “Perbuatlah Demikian “ di ayat 37, yang sebenarnya pengulangan dari ayat 28. Kalimat penutup ini bukan hanya bagi si Ahli Taurat, tetapi juga bagi saya & saudara. -JP