ANTARA ESENSI DAN RELEVANSI

Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah. (2 Korintus 4:2)

Beberapa istilah yang muncul di era yang terus berubah ini antara lain FOMO (Fear of Missing Out) atau bahasa sederhananya Kudet (Kurang Up Date). Istilah ini dipakai untuk menggambarkan kondisi seseorang yang terus mengejar informasi-informasi terbaru dan berusaha mengikuti perkembangan tersebut. Tidak jarang di antaranya yang bahkan ikut-ikutan trend seperti challenge terkini, dll agar tidak dikatakan kuno/kudet, sekali pun untuk melakukannya mereka harus membayar harga yang tidak mudah. Beberapa di antara kita mungkin ingat dengan Ice Bucket Challenge yang cukup nge-trend beberapa tahun lalu di mana orang mengikuti tantangan dengan menyiramkan seember air es ke atas kepalanya. Tantangan ini tentu cukup beresiko bahkan tercatat telah jatuh beberapa korban. Tapi toh tetap saja challenge ini banyak diikuti. Pertanyaannya, Kenapa?
Mungkin beberapa di antara kita menyebutnya kebodohan, tapi mereka menyebutnya ke-kini-an. Sebuah upaya untuk terus mengejar relevansi di tengah budaya masyarakat agar tidak tertinggal, agar terus memenuhi tuntutan pasar.
Bagaimana kita melihat kecenderungan ini di dalam area berteologi? Sepanjang sejarah, banyak orang telah mencoba untuk terus mengembangkan dan merevisi teologi yang dianggap kurang relevan dan mengantinya dengan pemikiran-pemikiran teologi baru untuk memuaskan relevansi tersebut. Upaya me-relevansi-kan atau mendaratkan teologi ke dalam konteks zaman tentu pada dirinya sendiri tidak salah, bahkan itulah yang semestinya memang dilakukan. Namun yang perlu diperhatikan adalah, apa yang menjadi pedoman dan tujuan utama kita? Apakah konteks zaman yang menjadi penentu, sehingga pemikiran-pemikiran teologi dipaksakan, dipelintir, dipalsukan, dimaknai ulang, hanya supaya cocok dengan pemikiran zaman? Apakah anggapan budaya masyarakat, atau permintaan pasar yang menjadi penentu, sehingga kita rela meninggalkan pemikiran-pemikiran teologi yang esensial supaya dapat diterima oleh pasar? -Dan