MEMBANGUN KEPEDULIAN TERHADAP SESAMA

Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. Luk. 10:33-35

Bacaan Alkitab
1 Yohanes 1:1-10

Imam dan orang Lewi adalah orang-orang yang melayani di bait Allah. Sebagai hamba Tuhan dan rohaniwan, seharusnya mereka memberi teladan dalam hal mengasihi dan memedulikan sesama. Namun yang terjadi justru sebaliknya, mereka hanya melihat, lalu menghindar, melewatinya dari seberang jalan, dan meninggalkan orang yang habis dirampok itu terkapar di jalan. Hal inilah yang terjadi bila hidup keagamaan hanya terfokus pada ritual dan pengetahuan. Akhirnya terjebak pada formalitas dan cenderung legalistik. Bagaimana dengan orang Samaria? Orang Samaria dibenci oleh orang Yahudi. Karena itulah orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria. Mereka dianggap bukan orang Israel asli, yang najis, dan dikelompokkan sebagai orang berdosa. Tetapi justru orang Samaria-lah yang memiliki belas kasih dan kepedulian terhadap sesamanya. Ketika melihat ada orang yang sekarat dan terkapar di jalanan, ia segera turun dari keledainya, lalu menolongnya. Tanpa memandang siapa, apa agamanya, apa sukunya, orang Yahudi atau bukan. Si Samaria hanya tahu ada orang yang membutuhkan pertolongan. Ia membersihkan dan membalut luka-lukanya, kemudian menaikkan orang itu ke atas keledainya, membawanya ke penginapan dan merawatnya.
Perumpamaan orang Samaria yang murah hati ini, setidaknya menyadarkan kita agar memiliki belas kasih dan kepedulian terhadap sesama. Jangan sampai kita terjebak pada kehidupan agamawi yang cenderung formalitas dan legalistik. Kehidupan agamawi semestinya dapat tercermin dalam kehidupan berelasi dan berinteraksi dengan sesama. Pengetahuan dan pemahaman akan firman, seharusnya selaras dengan sikap dan perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang percaya harus mampu mewujudnyatakan kasih dan kepedulian Allah di tengah-tengah dunia. Jika meminjam kalimat Yakobus: hendaknya kita menjadi pelaku firman, dan bukan pendengar saja. -SP

Refleksi: Dia adalah Allah yang penuh kasih, Ia peduli dengan kehidupan umat-Nya, tetapi mengapa kita tidak memiliki kepedulian terhadap sesama?