MENGASIHI atau DIKASIHI?

⁴Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. ⁵Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ⁶ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. ⁷Maka orang- orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? ⁸Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? ⁹Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?
⁴⁰Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. (Matius 25)

Tetap kembali ke renungan DOA Sabtu (4/2) pagi – sempat disinggung tentang hirarki kebutuhan manusia yang dirumuskan oleh Abraham Maslow, di mana di ranah sosial- nya, di mana manusia berinteraksi dengan sesamanya, muncul sebuah kebutuhan yakni Love & Belonging yang menjadi kebutuhan dasar manusia, yang memenuhi level ke-3. Kebutuhan untuk mencintai & dicintai, memiliki & dimiliki.
Berangkat dari pendekatan Maslow ini akan menolong kita untuk menyadari bahwa mengasihi manusia secara utuh bukanlah sebuah perkara yang mudah. Tatkala kita ditempatkan sebagai subyek (yang menyatakan, melakukan, bertindak) kasih maka banyak pergumulan yang akan dihadapi. Mengapa? Dengan menyadari bahwa kasih manusia selalu bersifat jikalau (bukan meskipun) dan kasih yang memandang bulu. Dalam hal ini kita diingatkan oleh khotbah Yesus di atas bukit:
⁴⁶Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? ⁴⁷Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? (Matius 5)
Namun di sisi lain – berdasarkan Maslow kita memiliki kebutuhan untuk dicintai dan dimiliki – ketika kita ditempatkan sebagai obyek (pihak yang menerima) kasih maka kita mudah tergoda mengaplikasikan kasih yang bersifat eksploitatif – mengeksploitasi orang lain untuk memenuhi seluruh keinginan kita atas nama kasih. Bahkan lebih jahatnya, kita akan menjadi lebih mudah menghakimi orang lain tatkala kita berharap orang lain HARUS mengasihi kita seperti yang kita inginkan.
Dengan demikian untuk memahami kasih yang utuh bagi manusia yang utuh akan mengalami deviasi & distorsi. Dosa (natur keberdosaan) selalu mendistorsi & mendefinisikan tujuan Allah sekalipun atas nama cinta kasih.
Apa yang Yesus maksudkan tatkala kita melakukannya untuk TUHAN dalam keselarasannya dengan melakukan untuk “saudara-Ku yang paling hina”? Tentu saja (seharusnya) hal ini tidak pernah berangkat dari kasih & perilaku yang mengandalkan kemanusiaan, melainkan harus dari kasih Allah yang membaharui hati manusia untuk mampu mengasihi secara Illahi.
Manakah yang akan kita pilih? Sebagai Subyek kasih atau Obyek kasih? Berdasarkan Maslow, maka sangat manusiawi kalau kita mengatakan memilih ke-dua-nya. Namun berdasarkan bacaan di atas sebagai refleksi, apakah pilihan kita? Mungkin jawaban paling taktis adalah Obyek kasihnya Allah, dan Subyek kasih kepada sesama. Tuhan memberkati dan melimpahkan kasih-Nya bagi kita sekalian. Selamat mengasihi sesama. -JP

Bacaan Alkitab
Keluaran 36
Markus 15
Mazmur 42
Amsal 9:7-8