PANDANGAN KONTEMPORER TTG GENDER
Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. (Galatia 3:28)
Salah satu argumentasi kontemporer untuk melemahkan otoritas Alkitab (atau setidaknya merevisi pemikiran teologi ortodoks sebelumnya) adalah pemikiran terkait gender dalam Alkitab. Mereka menilai Alkitab sangat kental dengan misoginitas (pemikiran yang meninggikan laki-laki dan membenci perempuan). Anggapan itu muncul dari banyaknya catatan dalam Alkitab yang dianggap menguntungkan kaum laki-laki dan merugikan perempuan (bahkan bukankah kita lebih mengenal Allah dengan sebutan maskulin, yaitu Bapa?). Anggapan-anggapan yang demikian, diiringi dengan budaya kontemporer yang mengedepankan kesetaraan gender, menyuburkan apa yang kemudian disebut sebagai Teologi Feminis.
Namun apakah benar Alkitab mendukung perilaku misoginis dan merendahkan martabat wanita? Tidak dipungkiri bahwa Alkitab ditulis di dalam sebuah budaya pratriakhsebuah budaya yang mengedepankan laki-laki. Namun jika dicermati sesungguhnya Alkitab justru memberikan begitu banyak perhatian terhadap wanita. Dari awal penciptaan wanita sebagai penolong yang sepadan menggambarkan Allah Tritunggal yang berelasi yang hadir dalam keintiman. Alkitab banyak menuliskan para wanita yang memiliki peran besar dalam pelayanan. Gambaran yang diberikan Paulus tentang pernikahan pun menegaskan hal yang sangat menarik di mana isteri tunduk kepada suamimu seperti kepada Tuhan dan suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan menyerahkan diri-Nya baginya (Ef 5:22-25). Apakah tuntutan mengasihi lebih ringan daripada tuntutan tunduk? Saya pikir tidak, karena standar mengasihi itu sama seperti Kristus yang mengasihi jemaat dan menyerahkan diri bagi mereka! Jika kita menganggap itu ringan mungkin kita perlu membacanya sekali lagi.
Yang perlu diperhatikan di sini adalah, sekali pun sama-sama memberikan nilai dan martabat bagi wanita, namun pandangan Alkitab berbeda dari beberapa inti feminism modern menyangkut kemerdekaan yang harus dinikmati para wanita. Feminisme modern mengejar kemerdekaan dan kebahagiaan, dan tentu saja, di dalam keberdosaan manusia, kemerdekaan dan kebahagiaan menurut anggapan kita bisa saja melenceng dan bahkan salah. Itulah perlunya kembali ke tolok ukur. -Da