MISI, ANTARA INJIL DAN BUDAYA

Paulus pergi berdiri di atas Areopagus dan berkata: “Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu. Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Kis 17:22-25

Ketika berbicara tentang Paulus, mungkin kita berpikir Paulus memberikan perhormatan dan memakai konteks keyahudian, serta berani menyatakan kebenaran dengan keras, karena memang dia adalah orang yang berlatar belakang Yahudi. Dia adalah orang dalam di tengah budaya Yahudi. Namun bukan hanya dalam konteks budaya Yahudi, Paulus juga adalah seorang misionaris cross-culture/ lintas budaya. Kisah Para Rasul 17 ini mengisahkan bagaimana Paulus memberitakan Injil di Athena, sebuah pusat kota penyembahan berhala dunia Yunani. Dari kisah ini kita dapat belajar
(1) Misi pemberitaan Injil tetap disampaikan dengan menghormati budaya lokal setempat. Bukan datang dengan buldoser yang meluluhlantakkan patung-patung berhala di kota itu dan menyebut orang Athena sebagai pendosa laknat, Paulus justru memuji gairah penyembahan merekadan bukan hanya itu, Paulus juga mengutip pujangga mereka.
(2) Misi pemberitaan Injil disampaikan tanpa mereduksi atau pun mencapuradukkan esensi kebenarannya. Dengan Paulus memuji gairah penyembahan mereka, tidak serta merta dia kemudian memperkenalkan Allah YHWH sebagai salah satu dewa yang dapat mereka sembah tanpa meninggalkan dewa-dewa mereka yang lain, atau dapat disembah dengan cara seperti mereka memandang dan memperlakukan dewa-dewa yang lain. Paulus justru menegaskan perbedaan dan keunggulan Injil.
Budaya dan tradisi dipakai sebagai jembatan, bukan untuk dicampuradukkan. Esensi Injil harus tetap menjadi yang utama, tanpa harus merendahkan budaya, atau pun direduksi oleh budaya. Dan